Saat
Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata
menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang
direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat
sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran
tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut
para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai
versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh
Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai
kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang
menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah
menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan
sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus
yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman
kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar
dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang
menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huruhara, merusak
kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi
dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah
(ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau
memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh,
ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga
bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa
Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu
antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng
Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang
memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana
Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang
beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara
lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri,
Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah
Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra,
dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan
Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni
cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda
Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya
sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium
Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula
ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas
perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie
(1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang
kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar
(Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar
tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang,
maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan
ajaran Sunan Giri.
Namun menurut Sulendraningrat dalam
bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari
Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan
mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang
karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan
Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi
dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di
Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki
Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R.
Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari
putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro
Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn.
Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah
kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas
pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging
yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan
Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang
bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali
(ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda,
dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar,
terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti
falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta,
Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah
Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa,
yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging,
yaitu kira-kira:
· Siti Jenar yang mengaku mempunyai
sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua
puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud
mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
· Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak
tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa
proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan
itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa
sarana,kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat
diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu,
mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam
dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam
dirinya;
· Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi
dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari
kematian,
manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu
kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan
lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani,
segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
· Segala sesuatu yang terjadi adalah
ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji
dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya,
sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
· Wujud lahiriah Siti jenar adalah
Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, samasama merasakan kehidupan,
merasakan manfaat pancaindera;
· Kehendak angan-angan serta ingatan
merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan
membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa,
melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak
berharga dan menodai penampilannya;
· Bumi langit dan sebagainya adalah
kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu
menjadi
najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali
sebagai
asalnya,
menjadi baru;
Dalam
buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
· Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat
di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang
yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat
indah;
· Siti Jenar mengetahui segala-galanya
sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh
sakdurunge
minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
· Sedangkan mengenai dimana Tuhan,
dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih(orang suci) yang bisa
melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat,
tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud
Hyang Widi;
· Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal,
yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada
mati)
tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang
ingin hidup
abadi
itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
· Jiwa yang bersifat kekal/langgeng
setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia)
adalah
suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari
Hyang
Widi
di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan
dituruti
perintahnya.
Dalam
buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
· Saat diminta menemui para Wali,
dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
· Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud
yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar
cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain :
ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri
dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,
hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT
dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan
menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
· Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama
dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran
manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut
buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935)
dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka,
bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng
bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang
dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan
salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan
(ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling
membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep
bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai
makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang
mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa
dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan
raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya
manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa
manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan
tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri
manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan
proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji
Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan
dari Siti jenar kepada kawankawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang
pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian
hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya
yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan
ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari
pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan
hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling
Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah
dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala
yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang
keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti
Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui
bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para
Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan
(Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan
Kesultanan di tanah
Jawa
(aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali
menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang
tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh
kontraversial beserta ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh
Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan
kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan
Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar
mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang
memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu
sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti
akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan
Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di
sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada
secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling
Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling
Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto
dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang
bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan
dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan
memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas,
Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia
dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum
Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita
dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau
Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu,
tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan
nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman
paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari
memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang
paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an
manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman
religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga
dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi
atau melakukan tindakanrindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang
menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian
tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti
bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada
masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya
atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh
Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi :
"Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum
tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".*
sidang para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam
musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh
Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini
bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan
menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan
meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang
santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke
masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam
gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan
para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh
ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu,
ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali
kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta
datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari
gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar
memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia
diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali
tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan
wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan
tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH,
manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakanbahwa wacana itu
benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong
danmengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah
ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari
percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi
masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat
luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada
masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang
yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar
hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa
pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga
diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat
bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? SunanGiri berkata, benar apa yang
anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membukailmu rahasia
secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup
tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu ituhanya dianugerahkan kepada
mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitusaja kepada setiap
orang.
Ngrame
tapa ing panggawe
Iguh
dhaya pratikele
Nukulaken
nanem bibit
Ono
saben galengane
Mili
banyu sumili
Arerewang
dewi sri
Sumilir
wangining pari
Sêrat
Niti Mani
.
. . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang.
Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking
karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking
pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman
pêjah.
Sarêng
jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar
wiyosing ludira,nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara.
Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita:
Kinanti
Wau
kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing
jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora
saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune
den-ugêmi, yeka
pangagême
raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane
sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh
denandhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining
ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi
sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
0 komentar:
Post a Comment